24.1.25

absquatulate

Hari ini aku dipanggil ke kantor untuk kepastian kontrak baruku. Akhirnya firasat burukku terjadi juga. Kontrakku tidak lagi diperpanjang. Meskipun aku sudah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk itu, aku tetap tidak bisa membendung rasa kecewa yang muncul. Mereka bilang tidak bisa melanjutkan proyek karena anggaran sedang diblokir untuk tiga bulan ini. Mereka juga tidak tahu, apakah setelah tiga bulan tersebut anggaran yang diblokir ini akan diberikan lagi kepada mereka, atau dialihkan untuk kebutuhan negara yang lain. Jadi mereka memilih untuk tidak membuatku berlama-lama menunggu ketidakpastian itu.

Aku juga sudah mencari tahu, akan ada pegawai baru disana yang ternyata memiliki keahlian kerja sepertiku. Jadi sepertinya kalaupun dibulan ketiga nanti anggaran mereka dikembalikan, mereka tidak akan memanggilku. Kebutuhan mereka sudah terpenuhi. Dalam hati aku bersyukur untuk mereka, namun tidak bisa kupungkiri bahwa hati kecilku sedih. Sebenarnya aku sedih bukan karena kehilangan pekerjaan, namun karena aku harus kehilangan tim kerja yang rasanya benar-benar seperti keluarga sendiri.

Aku pun berpamitan, menyalami tangan mereka satu per satu. Mereka memintaku untuk tidak meninggalkan grup olahraga mereka, jadi kami masih bisa bertemu dalam event-event lari. Aku tahu, kapan pun aku mau datang, mereka pasti akan menerimaku dengan sangat terbuka. Mereka mengatakan itu langsung padaku. Beberapa dari mereka memelukku. Aku merasakan mataku mulai memanas, namun aku tidak mau menangis. Aku tidak mau meninggalkan kesan sedih, meskipun aku memang sedih.

Setelah selesai memutari satu ruangan untuk bersalaman, ada satu orang mengajak, "Ayo kita foto bersama-sama terlebih dahulu!". Lalu ada satu lagi yang menyahut "Lha itu ketuanya malah lagi diluar."

Saat itulah aku tersadar bahwa beliau tidak ada diruangan. Padahal ketika awal aku mau berpamitan tadi, mejanya adalah yang pertama kudatangi dan beliau masih dikursinya, meskipun beliau bukan yang pertama kusalami. Lagi-lagi, foto tanpa beliau. Aku masih ingat kapan hari itu aku tidak ikut foto bersama karena sedang ke luar, dan beliau yang saat itu sedang di luar kota tiba-tiba mengirimiku pesan "Kok gaada fotomu". Padahal sendirinya tidak pernah mau ikut foto bersama. Rasanya semakin sedih karena tidak ada beliau di foto perpisahanku.

Sebenarnya aku ingat ada satu foto dengan beliau saat beliau "menyandera" aku di restoran di sebuah bukit untuk mengobrol sampai tengah malam sampai rokoknya habis. Namun saat itu fotonya memakai ponsel beliau, dan foto itu tidak pernah dikirimkannya. Beliau malah mengirimiku foto diriku sedang fokus bekerja sampai-sampai tidak sadar kedua kakiku naik ke kursi. "Itu tandanya kamu bener-bener fokus ngerjainnya," begitu katanya dulu. Padahal karena kakiku pegal saja kalau menggantung dikursi.

Tiba-tiba aku jadi teringat, pagi tadi ketika aku masuk ke ruangan dan beberapa orang menyapaku, termasuk beliau. "Hai, apa kabar?" begitu tanyanya, aku tahu itu hanya basa-basi semata. Warna kemeja yang digunakannya sama dengan warna jaketku, rasanya ingin aku cepat-cepat membuka jaketku. Entah mengapa ia memilih menggunakan kemeja warna marun sementara seragam pegawai hari itu seharusnya warna kuning. Ketika aku hendak melepas jaketku, malah kemudian beliau memakai jaketnya yang kebetulan warnanya sama dengan kemejaku. Ya, sudah aku menyerah. Beliau masih saja membangga-banggakan termos yang aku hadiahkan untuk ulang tahunnya tahun lalu. Sejujurnya, dulu aku sempat menyesal memberikan termos itu karena ada masanya beliau selalu membangga-banggakan termos itu setiap hari sampai aku malu sendiri.

"Ini panasnya tahan banget, lho."
"Kemarin saya lupa bawa termos ini padahal sudah saya isi kopi, akhirnya disimpan di kulkas sama istri saya. Pas saya pulang, isinya masih hangat."
"Ini pas banget sama takaran mesin kopi di pantry."
Dan masih banyak lagi. Termos itu memang bagus karena aku tidak sembarangan memilihnya. Aku sengaja memilih yang bagus supaya beliau bisa mengikhlaskan termosnya yang hilang yang beliau kejar sampai keluar kota, dan aku berharap termos itu bisa menggantikan termos putihnya yang sudah butut dan nampak tidak mencerminkan dirinya sama sekali itu.

Hingga kini aku tidak tahu apakah beliau benar-benar sesuka itu dengan termos tersebut, ataukah beliau memakai dan memuja-muja termos itu hanya karena ingin menjaga perasaanku saja. Apapun itu alasannya, aku senang dengan kenyataan bahwa ia terlihat begitu menyukai termos itu. Yah, setidaknya ada sesuatu yang bisa membuatnya ingat padaku.

Setelah sesi foto bersama berakhir, aku keluar dari ruangan diantar oleh teman-temanku. Rupanya beliau sedang berada dipintu masuk didepan. Tiba juga saatnya aku berpamitan dengannya. Aku mengulurkan tanganku, hendak menyalaminya. Beliau menyambutku, tangannya menggenggam tanganku sangat erat. Aku menatapnya untuk yang terakhir kali. Wajahnya yang jenaka tersenyum hangat menatapku, namun aku tidak lagi tertipu dengan kesan itu.

Meskipun sifatnya sedikit aneh dan nampak seperti tidak bisa membaca situasi, sebenarnya aku cukup senang ketika ada kesempatan bisa mengobrol ngalor ngidul atau berargumen dengan beliau. Tipikal orangtua yang suka bercerita, beliau membuatku terkesima dengan pengalaman hidupnya, pengetahuannya yang luas dan ide-idenya yang kadang nyentrik meskipun masuk akal. Tak jarang beliau juga membuatku tidak habis pikir dengan jalan pikirnya yang kadang terasa seperti ditengah persimpangan antara logis dan sesat pikir. "Ya bener, sih. Tapi ngga bener juga," kind of thing.

Akhirnya aku beranjak dari pintu itu dan melangkah keluar, meninggalkannya. Rasanya benar-benar berat sekali meskipun aku melangkah seperti biasa. Sepertinya baru sekali ini aku merasa sesedih ini mengakhiri kontrak kerjaku, setelah belasan kontrak kerja sebelumnya. Aku jadi bertanya-tanya apakah beliau pernah merasakan kesedihan yang kurasakan saat ini, mengingat proyek yang sudah beliau lalui sudah pasti lebih banyak dariku. Beliau pernah bercerita padaku mengenai rekan-rekan kerjanya pada proyek-proyek sebelumnya. Akankah ada hal tentangku yang akan beliau ceritakan pada rekan kerjanya yang baru?  Entahlah, aku tidak ingin bertanya-tanya lagi tentang hal-hal seperti itu. Ya, sudah. Dimana ada pertemuan, disitu ada perpisahan, bukan? Aku menghela nafas panjang, lalu melanjutkan langkahku. Aku tidak menengok ke belakang lagi.




No comments:

Post a Comment