4.9.17

hujan

Hujan. Ingatkah kamu? Dulu itu... sebelum kita dipisahkan oleh rentang dan ruang, selalu hujan dikala kita bersama. Entah mengapa, selalu hujan. Kuyup, dingin, di tengah lebatnya belantara hutan. Hujan. Seakan semesta tidak mengijinkan kita untuk bersama. Dan entah mengapa pula, momen itu selalu terjadi di kala hujan, di tengah hutan.

Jas hujan yang layaknya kantung plastik itu, selalu ribut sekali kedengarannya di telingaku. Meski akan tiba saatnya kita berhenti sejenak menembus belukar dan rimbunnya pepohonan berlumut yang kadang malang melintang di tengah jalan. Kemudian kita bisa menikmati damainya hutan, dikelilingi denting tetesan air hujan. Dan kabut diam-diam menyelinap diantara kekosongan kata. 

Hujan. Ingatkah kamu? Akan semua memori itu... ah... nampaknya tidak. Itu semua dulu. Kini hanya ada tembok dingin yang bersusun-susun hingga tinggi. Di dalamnya, deretan kursi berjajar rapi. Tak ada lagi kabut yang berkejaran bersama angin. Tak ada lagi batang pohon lelumutan yang harus di lompati. Tak ada lagi makhluk melata penghisap darah yang meliuk-liuk di atas sepatu.

Yang tersisa tinggallah langit mendung, yang seakan meredam sekuat tenaga agar air matanya tak tumpah ruah. Langit... tetap saja sama seperti langit yang dulu kita kenal. Selalu meruahkan hujan ketika kita bersama. Dulu, aku pernah bertanya-tanya, apakah semesta tak mengijinkan kita untuk bersama. Sekarang aku tahu apa maksud langit, ketika kulihat dirimu menggenggam erat tangannya, di ruang antara tembok dingin yang bersusun-susun hingga tinggi. Lantas hujan pun bergulir dari mata langit.

Langit yang tersedu sedan. Hujan. Kedamaian rimba hutan. Nada tetes-tetes air yang berdentingan. Merekam segalanya, sekaligus membungkam seluruhnya.

No comments:

Post a Comment