2.9.18

a thoughtful pause(?)

I can't help but write it down. Everyone been asking me, "how ya feelin?" "are you really okay?" "what's with the sudden decision?" "are you following someone?" Actually i'm not fine and i think it's okay that i'm not fine. Why is the "why" with everybody or am i just being sensitive? OH and this is my decision, i'm not following anyone-_-

Gue sadar kok kalo gue ngga produktif dan bener-bener cuma guling-guling di kamar aja seharian penuh selama tujuh bulan terakhir. "WHAT? TUJUH BULAN?" iya, gausah kaget gitu ah. Gue udah dapet gelar Bachelor of Doing Nothing 2018 neeeh. Well I've been trying to find jobs but their schedule doesn't suits my trip so i just let it go. "Jadi lu masih mentingin trip lu ketimbang kerjaan atau bahkan skripsi lu?" Iya.

Somehow gue selalu yakin bahwa setiap makhluk yang turun ke bumi, punya jalannya masing-masing. Beneran deh, makin kesini gue makin ngga peduli orang bilang apa tentang jalan hidup yang gue pilih. After all, this is my life anyway. Gue mungkin menyesal karena baru belakangan ini tersadar, tapi sepertinya gue akan lebih menyesal lagi kalau gue ngga menjalani jalan yang sudah terlanjur gue jalani.

Ya, disaat manusia-manusia lain sudah berkutat dengan tugas akhir, pekerjaan, keluarga... gue? malah ikut berkebun di kaki gunung tertinggi Sumatera bersama warga lokal yang baru saja gue kenal sekitar 2 jam yang lalu. Nyabutin wortel dan kentang dari tanahnya langsung, sambil ngobrol santai tentang kehidupan, di temani dua pelangi yang tumpang tindih di langit sore sehabis hujan. Ketika gue dengan semangatnya mbersiin wortel dari tanah, si warlok yang dipanggil Pakde berkomentar: "Tumben ada orang kota kaya kamu, mau aja disuruh main tanah." Ya gimana ya... secara gua posisinya numpang sama doi, kalo ga bantu mbersiin ntar gua makan apa ahaha. Terus kemudian beliau ngasih gue wejangan untuk hidup.

Gue mungkin menyesal, kenapa gue ngga cepet-cepet nyelesein tugas akhir like mostly people do. Tapi sepertinya gue akan lebih menyesal kalau aja gue ngga bisa melihat fenomena babi yang ukurannya dua kali lipat badan gue, jalan-jalan di depan kios di Paniai. Bertemu langsung sama manusia-manusia berkoteka di daerah pegunungan tengah Papua. Merasakan makan mujaer seharga Rp50.000 di Indonesia ku ini:') dan juga merasakan listrik yang cuma nyala setengah hari--dengan sinyal telepon ilang-ilangan, jalan makadam dan lumpur, sambil menyaksikan mama-mama tak beralas kaki bawa ubi pake noken dan nggendong anaknya yang ingusnya udah sampe jidat.

Gue mungkin menyesal, kenapa gue ngga ikutan nyari kerja like mostly people do. Tapi sepertinya gue akan lebih menyesal kalau aja gue melewatkan momen matahari terbenam paling cantik sepanjang musim kemarau di salah satu bukit di Gunung Lawu. Bengong-bengong ngeliatin sabana sambil sempit-sempitan di hammock bertiga kaya orang bener. Menyusuri punggungan paling tipis, paling curam, dan paling licin untuk lintas ke jalur sebelah.

So... apakah gue menyesal karena tidak mengikuti "waktu orang lain"? Tentu tidak. Somehow gue malah berpikir bahwa... ya ini jalan gue. Ini jalan yang sudah ditentukan Tuhan untuk gue. Gue mungkin terlambat, tapi dengan terlambat itu gue bisa belajar lebih banyak, dan berjalan lebih jauh lagi, dan mudah-mudahan bisa memberi manfaat lebih banyak lagi untuk sesama. Jadi... yah, bukannya gue "meyakinkan diri" bahwa gue nggak salah atau gimana. Sebenarnya, kuncinya cuma bersyukur aja dengan apa yang sudah gue lewati.

Jadi... buat semua yang diluar sana dan mungkin sedang berada dalam posisi seperti gue saat ini entah tentang apa itu, kerjaan kek, atau apa... terlambat itu bukan gagal. Kalau pun gagal sekalipun, ya udah syukuri aja dulu. Bisa aja Tuhan punya rencana lebih baik, toh? Sesekali kita harus melihat kebelakang, apa aja yang udah kita jalani dan udah kita lalui hingga kita sekarang disini. Semuanya seharga dengan apa-apa yang sudah kita korbankan kok.Percaya saja, rencana Tuhan itu lebih baik dari apapun juga.

Bonus foto sunset di Lawu. Aslinya mah lebih cetar.


No comments:

Post a Comment