8.10.18

Lost: main

Aku akhirnya beranjak dari kontrakanku, menuju ke kampus. Biasa, kegiatan organisasi. Teman sekontrakanku, Gar, ingin ikut juga, maka berdua dengannya aku ke kampus menggunakan motor juniorku. Mendadak aku teringat, minggu lalu memakai motor Lim. Haha, tidak mungkin rasanya motor itu bisa dinaiki dua orang besar seperti saat ini. Dari kontrakan ke kampus tidak jauh, mungkin hanya sepuluh menit. Kepalaku riweuh dengan pikiran mengenai kegiatan yang nanti akan kuhadapi. Dan... eh... tunggu sebentar. Bukankah dia Han, sahabat baik Lim? Mengapa Han duduk disana sendirian?

'Ngapain sendirian aja?'
"Nungguin Lim jogging hehe"

Wah, mau kemana lagi Lim? Ah, masa bodoh. Namun tetap saja aku heran, perempuan itu selalu jogging sendirian. Ah, sudah-sudah. Buat apa aku memikirkan dia?

Sebelum kegiatanku dimulai, aku berdiskusi dulu dengan tetua-tetua organisasi dan beberapa junior yang di kantin kampus. Tidak lama, aku mendengar suara Lim di belakangku. Entah mengapa akhirnya aku menoleh ke belakang. Ternyata benar ada Lim dan Han, hanya terpisah dua bangku dariku. Dan mata kami bertemu. Aku tidak tahu apakah harus menyebutnya sebagai kesialan atau tidak.

Perempuan itu menanyakan sesuatu yang tidak dapat ku dengar, mengingat kantin saat itu cukup ramai. Kebetulan sesi diskusi yang penting sudah berlalu, maka aku pun menghampirinya.
"Udah makan belum, Los?" tanya Lim padaku.
"Belum." jawabku.
"Ini gue dapet makanan dari kantor, tapi tadi gue udah makan. Buat lo aja, enak rendang." ujarnya sambil menyerahkan sekotak nasi.
"Tapi gue masih kenyang." Agak tidak enak, minggu kemarin ia sudah memberiku sekotak bakpia. "Itu ada Gar dibelakang. Nanti gue kasih dia aja."
"Oke."

Lalu seorang teman, Pan, datang menghampiri kami bertiga. Ia berbincang akrab dengan Han. Lim lantas mengajakku bicara, menanyakan bagaimana kabar tugas akhirku. Maklum, saat ini kami berada di tingkat akhir perkuliahan. Sedari minggu lalu pun ia sudah menanyakan kabar tugas akhirku. Tumben sekali, padahal kami tidak pernah sedekat ini. Ia lalu menanyakan hal-hal lain seperti topik diskusiku bersama tetua-tetua tadi, apakah aku akan datang ke acara organisasi lain esok. Aku tidak bisa lama-lama meninggalkan diskusiku bersama tetua-tetua dan beberapa junior tadi hingga akhirnya aku kembali ke diskusi bersama mereka, meninggalkan Lim.

Aku sedikit gugup, namun ini sudah kali kedua aku melaksanakan kegiatan ini. Menguji calon ketua bukanlah hal mudah. Namun syukurlah acaranya terlambat sekitar satu jam sehingga rasa gugupku larut ditelan waktu. Aku duduk di paling pinggir. Sebuah kesialan lagi sepertinya. Mendadak aku melihat Lim, dengan jaket oranyenya yang menyala. Bagaimana aku bisa melewatkannya? Dan, kini Lim duduk di barisan paling depan. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Tunggu dulu... memangnya kenapa? Bodo amat, kan, ia mau duduk dimana pun. Lim kemudian pindah lagi ke belakang. Ku lihat sekilas ia berbincang amat serius dengan salah seorang temannya, Ifa. Kebetulan juga sesi uji menguji ini sudah selesai. Aku mendekat dan menguping sejenak apa yang mereka bicarakan. Ah... rupanya mengenai isu politik kampus yang sedang memanas. Tak kusangka perempuan macam Lim mengikuti juga kasus politik di kampus. Aku ingin nimbrung namun sepertinya sulit. Maka aku kembali ke bagian depan bersama manusia-manusia berpikiran kritis yang sedang menyiapkan pertanyaan ujian.

Tak lama dari itu, Lim pulang. Padahal aku berencana ingin berbincang lagi dengannya. Tapi ya sudahlah, masih ada hari esok.

No comments:

Post a Comment