19.9.19

Lost

Hahaha. Jalan lagi dengan Los? Sepertinya takdir hidupku ini lucu sekali. Ya, disinilah aku. Duduk santai di bangku di salah satu jalan paling terkenal di kota itu, di kota yang dikelilingi gunung, di malam minggu. Kebetulan sekali, aku dipanggil oleh komandanku karena kinerjaku di organisasi ini buruk. Sementara Los sedang ada dinas di kota yang sama. Los yang tahu bahwa kami sedang berada di kota yang sama akhirnya mengajakku bertemu. Ia tidak pernah berkeliling kota ini, katanya. Akhirnya aku ajak bertemu di jalan itu, pukul delapan malam.

Los tiba-tiba saja datang dan duduk disampingku ketika aku hendak menanyakan posisinya. "Udah lama?" ia lantas bertanya.

"Engga, gue juga baru sampe kok." jawabku. "Ada tempat yang mau lo datengin nggak?" tanyaku padanya. Mungkin sebenarnya ia mau ke tempat yang lain.

"Gue nggak tau mau kemana. Gue ikut lo aja," jawabnya. Seperti biasa, akhirnya aku harus memutuskan mau kemana daripada kita berdua malah bingung-bingung. Untungnya aku memang sudah mempersiapkan rencananya.

"Yaudah susurin jalan ini dulu, yuk. Jalan ini paling terkenal di kota ini soalnya katanya masih ada hawa-hawa belandanya gitu..." aku lantas bercerita mengenai tempat itu, bagai tour guide saja. Jalanan itu penuh dengan manusia, belum lagi kendaraan terjebak macet. Yah, efek malam minggu. Akhirnya kami berjalan kaki menembus lautan manusia itu sambil berceloteh kesana kemari.

"Lo pernah kesini malem minggu kaya gini, Lim?"
"Ngga pernah. Gue sering kesini hari sabtu tapi siang-siang, ngga pernah malem kaya gini. Dan ngga serame ini, sih. Ini mah kaya pasar kaget."

Kami berjalan santai menyusuri jalanan itu, terkadang menyeberang jalan untuk melihat toko-toko antik atau toko-toko makanan peninggalan belanda. Selepas dari jalanan itu, aku memutuskan untuk mengajak Los ke alun-alun. Sekalian menikmati suasana malam minggu. Sepanjang jalan itu kami jadi mengobrol ngalor-ngidul kesana kemari. Tiba-tiba kami jadi membicarakan mengenai gaya hidup orang Jakarta. HAHAHA awalnya apa aku lupa, tapi absurd banget kalau mau diingat-ingat. Los bingung sekali dengan gaya hidup orang Jakarta yang suka sekali barang-barang yang menang branded.

"Ya, gue juga ngincer barang branded sih, Lim. Lo tau lah alat-alat outdoor gue itu branded semua. Tapi, kan, karena gue tau kualitasnya. Nah kalo cuma kaos, ngapain beli yang sampe yang ratus-ratus ribu? Belum lagi sepatu yang sampai juta-juta?" begitu katanya. Di sini aku jadi tahu juga kalau Los ternyata belum pernah masuk ke mall-mall yang menengah atau ke atas yang ada di Jakarta. Kalau dia pergi kesana... apa komentarnya, ya?

"Gue juga bingung, tuh, kaya Nar dan Har. Ya, kehidupan pada k-popers itu. Kok bisa, ya, menghabiskan waktu untuk berimajinasi sama idolanya sampe segitunya?" Los bertanya-tanya. Berimajinasi? Mungkin yang dimaksud Los itu fanfiction begitu, ya? Jujur sebenarnya aku juga bingung kalau untuk masalah yang satu itu. Aku juga pernah punya idola tapi tidak pernah sampai yang membayangkan kalau idolaku itu jadi pacarku atau sebagainya. Meskipun berimajinasi itu tidak ada salahnya, tapi aku kurang bisa relate dengan hal tersebut. 

"Belom lagi itu si Nar ngabisin berapa belas juta cuma buat nonton konser doang."
"Eyyy kalo yang ini gue bisa debat, Los. Gue dulu anaknya konseran banget meskipun bukan k-pop ya. Gue dulu sering banget nguber konser band-band indie. Euforianya beda, Los. Lebih seneng gitu karena ketemu langsung, dengerin langsung," kalau masalah konser aku bisa membela, hahaha.

Lalu akhirnya aku memberanikan diri menanyakan Los mengenai kasus salah satu teman kami, Lis. Dulu ia pernah terjerat kasus pelecehan, makanya aku mau tahu bagaimana sudut pandang Los. Los... setiap mengutarakan opininya, ia selalu mengatakan, "Gue takut salah ngomong." Dan berdasarkan perkataan dan pandangan Los, aku jadi semakin yakin kalau aku tidak bisa membicarakan masalahku dan Dam dengan Los. Apalagi Los sahabat baik Dam. Aku tidak tahu, kan, bagaimana reaksi Los kalau ia tahu bahwa Dam... Aku malah jadi introspeksi diri lagi, apakah memang waktu itu aku yang salah? Aku bingung sekali. Tapi ya sudah, lah.

Di persimpangan jalan, topiknya berubah lagi. Los tiba-tiba membicarakan goals hidupnya, bahwa dia ingin jadi orang kaya. "Gimana, sih, caranya jadi orang kaya?" ia cerita bahwa ia datang dari keluarga yang pas-pasan saja hidupnya. Ia punya ambisi untuk mengubah kondisi ekonomi keluarga. Los bilang kalau ia ingin punya penyemangat untuk bisa mencapai goals hidupnya makanya ia berusaha nembak Nar karena siapa tahu yang sedang ia butuhkan saat ini adalah "perempuan" untuk jadi sumber semangat Los. Sedih yha. Tapi aku iya-iya saja.

Setelah ini adalah jalanan tempat "hantu-hantu" bersemayam. Sepanjang jalanan mengarah ke alun-alun ini juga sebenarnya didominasi oleh kantor-kantor dengan gedung peninggalan Belanda. Gedung-gedung kantor itu hanya dipugar sedikit saja, sehingga terasa seperti kota tua. Banyak sekali orang-orang berkostum hantu di jalanan ini. Kalau kita mau foto, setidaknya kita harus kasih uang beberapa ribu rupiah. Bahkan sekarang kostumnya makin aneh-aneh, aku dikagetkan oleh kuntilanak berbaju merah dan berkepala dua. Ada-ada saja.

Selepas jalanan hantu itu, kami melewati lorong yang juga terkenal di kota itu, karena lorong itu bertuliskan kalimat yang puitis mengenai kota tersebut. Tapi aduhai lorong itu penuh sekali, jadi kami lanjut jalan dan mengobrol lagi. Los kemudian menyebut nama Dam, aku lupa kami sedang membicarakan apa saat itu. Aku kemudian bertanya pada Los, "Ehiya, Dam tuh sebenernya kenapa, sih?"
"Kalo menurut gue, Dam itu overthinking aja. Dam selalu berpikir kalo yang negatif itu pasti datengnya dari dalem diri dia, kalau yang positif itu dari luar diri dia." seingatku Dam sendiri juga pernah bilang begitu saat kita bertiga naik ke Salak. "Terus, ya, sumber galaunya cuma satu, mantannya itu, Nir." Aku ingat, saat Dam sudah putus dari Nir dan berpacaran dengan junior, Jay. Dam rela selingkuh dari Jay untuk bisa balikan dengan Nir. Aku tidak habis pikir.

"Dam juga ngerasa kalo dia bipolar." Los berkata.
"Haaaah? Sebelah mananya dia bipolar?"
"Ya itu, kalo naik gunung dia ngerasa happy, tapi pas turun dia ngerasa sedih."
"Itu bukan bipolar anjir." dan orang psikologi mana pun akan sedih mendengar pernyataan itu. Agak menakutkan sebenarnya karena setelah Dam konsultasi dan secara klinis dinyatakan mengidap anxiety dan depresi, menurutku Dam jadi sering self-diagnosis. Itu bahaya sekali sebenarnya, tapi sepertinya orang-orang disekitarnya tidak ada yang ngeh kalau dia seperti itu.
"Terus... gue ngerasa kalau Dam itu womanizer," ujar Los. Aku tertawa dalam hati karena itu juga yang aku rasakan, paling tidak akhir-akhir ini. "Jangan bilang-bilang Dam, ya, Lim. Gue pernah lihat sekilas line-nya, isinya chat sama cewek semua."
"Los, jangan bilang-bilang juga ke Dam, ya. Gue juga pernah lihat dm ig-nya, isinya juga cewek semua." ujarku menimpali. Astaga aku benar-benar jadi tidak habis pikir dengan Dam.
"Nah iya, kan. Dia tuh kaya gitu, deh, sama cewek. Ngga ngerti gue."

Aku mengajak Los duduk di alun-alun setelah kami dari tadi berputar-putar saja jalan kaki. Banyak juga pengunjung yang duduk-duduk di alun-alun karena dipasangi rumput sintetik, ada himbauan untuk tidak menginjaknya dengan sandal dan sepatu juga sehingga tetap bersih. Kondisinya terbuka, tanpa atap atau bangunan. Tapi untunglah malam itu cerah. Alun-alun itu terletak persis di depan masjid agung kota. Sambil duduk dan mengamati kondisi sekitar, tiba-tiba Los bertanya, "Lo percaya climate change, ngga?"

Manusia satu ini absurd sekali, ya, pikirku. Aku kemudian menjawab bahwa aku percaya climate change, karena ada datanya, ada buktinya. Sekalipun "perubahan iklim" ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan siklus atmosfer bumi yang berapa ribu tahun sekali itu, tetap saja menurutku aktivitas antropogenik ini benar-benar mengacaukan tatanan komposisi atmosfer dunia. Los berbinar-binar sekali ketika aku menjawab seperti itu. Aku memang memperhatikan bahwa Los sangat tertarik mengenai topik ini. Los cerita bahwa ia ingin sekali berkontribusi untuk memerangi climate change, ingin ikut kegiatan yang mendukung pemerintah untuk segera merealisasikan kebijakan yang terkait dengan climate change. Kebetulan setahuku akan ada kegiatan climate strike, aksi untuk melawan perubahan iklim. Los memang berencana untuk ikut, namun bertepatan ia harus dinas di hari itu.

"Gimana, dong, Lim? Kita ngga bisa sendirian ngontrol dunia ini. Lihat, tuh, Jakarta masalahnya banyak banget. Polusi lah, sampah lah, krisis air lah," Los terlihat sangat khawatir. Seperti biasa, Los nampaknya memang hobi sekali meletakkan beban-beban berat di bahunya, yang seharusnya tidak ia tanggung sendirian. Aku merasa simpati namun sekaligus ingin tertawa. Tapi, ya, mau bagaimana? Kita memang tidak bisa sendirian untuk melakukan perubahan. Tambah lagi, politik dan ekonomi itu tidak akan pernah bisa sejalan dengan lingkungan. Hahaha apa, sih, aku jadi ikut terbawa suasana.

"Los, kalau lo mau balik, bilang ke gue, ya." tidak terasa, kami berputar-putar dan ngobrol begitu sudah habis dua jam.
"Masih ada tempat yang mau lo datengin, Lim?"
"Iya, deket sini ada warung kopi yang enak banget. Gue mau kesana."
"Yaudah gue ikut. Masa gue jauh-jauh kesini cuma buat tidur doang? Gapapa udah gue temenin lo."

Kami lalu jalan kaki ke warung kopi itu. Kebetulan memang buka sampai malam. Sebenarnya aku tahu warung kopi itu karena Dam pernah ceritakan tempat ini padaku. "Masa, sih, lo bolak balik ke kota itu tapi ngga pernah tau warung kopi itu? Kopi susunya enak banget parah, Lim, lo harus coba." begitu cerita Dam padaku dulu. Dari alun-alun ke warung kopi tidak jauh jaraknya, mungkin hanya lima ratus meter saja.

"Gue kangen banget ngobrol kaya gini sama orang, sengalor ngidul ini." ujar Los saat kami jalan menuju ke warung kopi. Sebenarnya dalam hati aku mengutuk dia habis-habisan: tai bat lo Los:') lo jalan berdua doang sama gue malem minggu ngobrol ngalor ngidul kaya gini tapi sukanya sama perempuan lain woyy sakitnya tuh dimarih:')

Kami berdua duduk disalah satu meja yang kosong. Lagi-lagi warung kopi itu penuh karena sekarang malam minggu. Menu makanan disini masih ada menu roti-roti belanda seperti roti telur dan roti pindakaas. Sisanya kebanyakan menu-menu standar seperti nasi goreng, mie goreng. Tapi yang juara memang kopi susunya. Los dan aku memesan kopi susu, aku sekalian memesan makan karena belum makan malam. 

"Lim, sebenernya lo ada apa, sih? Lo pasti ada yang mau di ceritain tapi gamau cerita, ya?" tanya Los tiba-tiba saat aku melamun menantikan pesanan kami datang. Los sepertinya memperhatikan kalau aku jadi sering melamun ketika kita sedang berdua saja. Sebenarnya aku memang masih belum bisa melupakan kejadian dengan Dam. Seperti masih terngiang-ngiang meskipun sudah lewat satu minggu.

"Iya...tapi gue ngga bisa ceritain." jawabku. Los kemudian tidak berkomentar apa-apa lagi.
"Los, kalau ada orang yang ngeganggu lo, lo akan ngadepin dia ngga? Lo akan confront dia ngga?" tanyaku pada Los. Aku sedang berpikir apakah aku harus membahas hal ini dengan Dam atau tidak.
"Ya seberapa dia ngeganggunya? Dan kaya gimana bentuk gangguannya? Kalau ganggunya menyita waktu dan tenaga gue, ya gue akan confront dia." jawab Los. Kasus Dam ini sudah sangat menyita waktu dan tenagaku, namun kemudian aku berpikir: apa juga yang mau aku confront ke Dam? Mungkin nanti saja, kalau memang ada kesempatan yang benar-benar pas. "Lim, kalau beneran ada orang yang ganggu lo dan lo butuh bantuan untuk nge-confront orang itu, gue mau kok bantuin lo. Bilang aja, ya." tambahnya.

Los kemudian mengalihkan topik pembicaraan menjadi membahas climate change lagi. Ia menunjukkan salah satu video yang lucu tapi sarkas, yang menjelaskan mengenai perubahan iklim. Tak lama pesanan kami kemudian datang. Aku lupa saat itu Los bercerita tentang apa, namun tiba-tiba aku melontarkan pertanyaan yang sudah lama sekali ingin kutanyakan pada Los.
"Los, sebenernya lo tuh keganggu, ngga, sih, sama gue? Orang-orang banyak yang ngecengin kita, lo keganggu, ngga?"
"Jujur, ya, Lim. Gue ngga pernah merasa keganggu. Lo keganggu, ya?"
"Jujur, sama gue juga ngga pernah ngerasa ke ganggu. Tapi gue takut itu jadi pembatas buat lo."
"Itu lah, Lim, yang gue ngga suka sebenernya. Kenapa, sih, cewe sama cowo tuh ngga bisa temenan aja? Ya kaya kita gini lah." akhirnya malam itu jelas semuanya. Bahwa aku memang benar-benar hanya sekadar teman untuk Los. Tidak lebih. Rasa sedih memang tetap ada, namun entah mengapa kini aku sudah lebih bisa menerima, sudah bisa lebih legowo. "Tapi lo ngga baper, kan, sama gue?"

I didn't see it coming. Dan pertanyaan itu masih terasa bagai menghujam jantungku. Ia benar-benar masih penasaran sejak dari Salak, ya? Sebenarnya ingin kelai aku tanggapi pertanyaan itu dengan: ya menurut lo? Hahaha tapi tidak bisa, dan yang keluar hanyalah, "Engga, kok." Aku berharap Los tidak membaca raut wajahku saat itu.

Selepas dari warung kopi, kami berjalan ke arah alun-alun dan duduk di kursi-kursi yang ada disana. Kami memutuskan untuk kembali ke penginapan masing-masing karena saat sudah hampir tengah malam. Los cerita kalau ia akan kembali ke Jakarta besok pagi-pagi. Sementara itu besok aku masih ingin berburu oleh-oleh. Los hampir tergiur untuk extend dan ikut aku, namun ia teringat kalau masih ada laporan yang harus ia kumpulkan lusa. Jadi kami berpisah disitu.

Kini aku benar-benar tidak tahu aku harus apa. Aku kembali ke penginapan dan tidur. Aku benar-benar ingin tidur saja dan melupakan semuanya.

No comments:

Post a Comment