10.11.19

Perapian

Akhirnya aku membongkar ranselku setelah tiga hari kudiamkan saja di pinggiran tempat tidur. Ini termasuk cepat, biasanya aku baru membongkar ranselku sekitar seminggu setelah kepulangan. Haha, jorok memang. Tapi aku teringat, baju dalam packinganku basah. Alat masakku juga terakhir masih kotor belum dibersihkan, pun gosong karena dibakar diatas perapian. Dengan segala rasa terpaksa, akhirnya kukeluarkan semuanya. Sebelum mereka berkerak dan berjamur.

Seketika setelah kubuka ranselku, bau asap sisa perapian menyeruak keluar ke seantero kamar. Baunya menyengat, menusuk hidung, membuat kepalaku pusing. Baunya memunculkan memori yang tidak menyenangkan: harus cepat-cepat cari kayu lagi untuk ditumpuk diperapian agar apinya tetap menyala. Ah, tapi sudahlah. Itu hanya memori saja.

Aku keluarkan satu per satu barang-barangku dari ransel. Astaga, sampai ke dasar pun bau kayu bakar. Aku jadi teringat, bahkan kemarin saat di lapangan pun, air yang kuminum juga bau kayu bakar karena dijerang diatas perapian. Ah, tapi sudahlah. Itu hanya memori saja.

Perapian. Kayu bakar. Bara api. Asap. Mata perih yang terus menerus mengeluarkan air mata namun tak bisa dibuka karena terkena asap. Napas yang habis untuk meniup bara agar apinya muncul kembali. Aku terkejut karena ternyata itu yang kubutuhkan selama ini. Untuk pergi dari kenyataan hidup di kota, untuk pergi dari kenangan buruk di kota.

Perapian, membuat malam-malam di lapangan jadi terasa tidak terlalu dingin. Mengisi kekosongan kata dengan retak-retak kayu yang perlahan menjadi abu, jatuh ke tanah, minta ditumpuk dengan kayu yang baru. Aku harap memori burukku seperti kayu-kayu yang dibakar itu, memang membara pada awalnya, terngiang tak terkendali. Namun kemudian menjadi abu dan hilang diantara tanah. Kenyataannya? Memori itu malah seperti asap. Membumbung ke segala arah, menempel dimana-mana, dan muncul ketika tak diharapkan.

Ah, aku harap aku bisa mencuci pikiranku, agar "bau asap" itu bisa hilang. Aku harap...

"Tuh lihat kayu-kayu gede, sebentar lagi jadi abu." -as

No comments:

Post a Comment