18.1.20

Perempatan Jalan


Ada satu pelanggan yang kerap datang ke kedai tengah malam. Ia biasa memesan kopi panas, duduk di luar, seperti menantang alam karena biasanya udara menjadi lebih dingin. Ia duduk saja berjam-jam, biasanya hingga subuh menjelang. Aku pernah jahil bertanya, "Mengapa suka sekali datang kemari, tengah malam begini?"

Ia tersenyum tipis dan menjawab, "Aku menunggu seseorang." Siapa yang ia tunggu. Aku tidak tahu. Ia duduk saja dipojokan, kadang menatap keluar kedai, namun lebih sering mengecek ponselnya. Raut wajahnya kosong, namun penuh penantian. Siapa yang ia tunggu. Aku tidak tahu. Tiap hari ia datang kemari. Sesekali melihat orang yang berjalan sambil lalu. Tidakkah ia sadar, sekarang sudah jam tiga pagi. Siapa yang ia tunggu. Aku tidak tahu. Kopi yang dipesannya selalu ia biarkan hingga dingin, diterpa udara malam. Jika bingung harus berbuat apa, ia memantik rokoknya dan menyesapnya pelan-pelan. Siapa yang ia tunggu. Aku tidak tahu. Tapi apakah mungkin, yang ia tunggu akan datang, jam segini?

Suatu malam aku benar-benar penasaran. Aku hampiri ia ke mejanya. Ia tersenyum padaku ketika aku menghampirinya. Astaga kursi kayu yang kududuki ini minta ampun dinginnya.
"Kapan ia akan datang?"
"Aku bahkan tidak tahu apakah ia akan datang."
"Mengapa tidak kau telepon?"
"Aku tidak berani."
"Apa kalian ada masalah?"
"Tidak, hanya saja aku merasa canggung."
"Sampai kapan kamu akan menunggunya?"
"Sampai ia datang... kurasa?"
"Dan kalau ia tidak akan datang, sampai kapan kamu akan seperti ini?"
"Sampai aku bisa berdamai dengan diriku sendiri."


Aku menarik napas dalam-dalam. Tidak tahu lagi harus berkata apa. Udara malam itu dingin sekali. Aku bingung bagaimana ia tahan berada diluar, bermalam-malam, dingin sekali. Aku akhirnya pamit untuk kembali masuk ke dalam kedai. Diam-diam aku mendoakannya, agar apapun yang terbaik untuknya, dan seseorang yang ia nantikan tiap malam.

Jakarta, 18012020 02:46 WIB.

No comments:

Post a Comment