23.3.20

Lost

Badanku tidak enak sekali. Sudah lebih dari dua minggu aku tidak berolahraga. Biasanya aku bersepeda dua atau tiga kali dalam seminggu, namun minggu kemarin aku bekerja di luar kota dan minggu ini masyarakat dihimbau untuk tidak meninggalkan rumah. Angka kasus wabah COVID-19 kian melejit sehingga aku juga sebenarnya was-was bila harus pergi keluar rumah. Tapi besok aku ada ujian ekonomi, kalau badan sakit-sakit begini aku takut tidak bisa berkonsentrasi untuk mengerjakan ujiannya. Akhirnya, aku memutuskan untuk bersepeda malam ini, ditengah pandemi global seperti ini. Memang tidak ada yang mengalahkan kekonyolanku.

Sepanjang jalan aku sempat insecure, apakah aku akan bertemu dengan orang-orang yang kukenal? Bagaimana kalau aku bertemu dengan Dam? Tapi, ah, mana mungkin. Aku selalu lewat situ namun tidak pernah bertemu dengannya, malah lebih sering bertemu dengan Wal atau Rah. Toh juga ini sedang ada himbauan dirumah, dan juga sudah malam. 

Malam itu dingin. Waktu menunjukkan pukul 21:33 WIB. Rasanya aneh sekali bersepeda di jalanan yang biasanya jam segitu pun masih ramai... kini lengang seperti milik sendiri. Biasanya aku selalu waspada akan kendaraan bermotor, namun kali ini tidak. Benar-benar sesepi itu, di hari minggu malam, kota Jakarta. Aku sangat menikmati bersepeda kali ini. Akhirnyaaa aku "bergerak" lagi setelah sekian lama.

Dan setelah akhirnya melewati "kawasan rawan" tempat Dam tinggal, aku agak lega. Sampai seseorang memanggil namaku.
Ian: Kak Lim!
Lim: Loh, Ian! Lo mau kemana?

Ian bersama Kar saat itu. Mengendarai motor dan membawa beberapa bungkusan besar. Saking insecure-nya aku dengan Dam, aku sempat lupa kalau jalur bersepedaku juga melewati tempat tinggal mereka.

Ian: Kita mau buang sampah, Kak.
Lim: Oh, di pembuangan depan itu, ya?
Ian: Iya. Kak Lim lagi ngapain?

Notabene aku sedang sepedahan. Apa aku harus jawab: Aku lagi mandi... mandi keringet?

Lim: Sepedahan aja.
Ian: Dari tempatnya Dam, ya?

Memang temanku hanya dia seorang, ya? Sampai rasanya akhir-akhir ini semua orang terus mengasosiasikan kita berdua. Ini semua karena si Los yang kunjung tak ada kabarnya. Sialan.

Lim: Engga, gue dari rumah.
Ian: Oh, kirain dari Dam. Ya ampun, jauh-jauh. Mana ngga pakai masker lagi.
Lim: Omong-omong, gimana si Los? Udah ada kabarnya belom?
Ian: Belom, Kak! Tolong, ya Kak, coba dihubungi temannya yang satu itu. Dia belum bayar kontrakan.

Kan mereka yang satu kontrakan kenapa aku yang harus kontak Los? Tapi aku juga butuh Los, sih. Jadi kesal sendiri. Dan akhirnya tiba juga kami di tempat pembuangan.

Lim: Iya nanti gue coba hubungi, ya. Gue duluan.
Ian: Iya! Ampun deh, Kak Lim ini. Mana sepedanya ngga ada lampunya. Hati-hati, Kak.
Lim: Iya hati-hati juga kalian.

Aku melepas napas lega setelah berpisah dengan mereka. Uh, mengapa aku harus bertemu dengan orang-orang yang kukenal padahal sepertinya probabilitasnya sudah kecil sekali. Well, probabilitas kecil bukannya nol probabilitas, kan. Ah, seketika kedamaian bersepedaku langsung hilang entah kemana dan pulang-pulang pikiranku malah tambah semrawut. Tambah tidak keruan lagi ketika sesampainya dirumah aku mendapati Dam mengirimiku konten konyol dari sosial media.

Sungguh. Aku harap wabah ini cepat berlalu. Aku juga berharap agar aku tidak perlu lagi merasa insecure atau canggung ketika bertemu atau menerima pesan konyol dari Dam. Aku berharap Los cepat kembali kesini, menyelesaikan administrasi perkontrakannya, dan... sebenarnya banyak yang ingin aku ceritakan pada Los tentang Dam. Astaga pusing sekali kepala. Kalau saja Dam tidak tembok batu dan bisa diajak bicara, mungkin kondisinya akan lebih baik. Namun untuk saat ini, sepertinya biar saja begini.

No comments:

Post a Comment